Salah satu keluhan pengusaha laundry, usaha
yang dijalankan belum memberi keuntungan sesuai harapan. Padahal operasional
sehari-hari tidak sedikit. Mulai bahan baku, detergent, farfum, plastik.
Demikian juga pengeluaran bulanan, listrik, telpon dan biaya lain-lain, tak
jarang menguras pendapatan dari bsinis itu. Malah pengalaman beberapa rekan dan
juga penulis, seringkali setiap bulan nambah uang untuk operasional, baik untuk
gaji karyawan, listrik atau sekedar beli detergen.
Apa masalahnya? Tentu bisa melihat berbagai
faktor. Masalah tidak berdiri sendiri.
Pertama, faktor internal. Umumnya, usaha laundry bermodalkan nekat alias
modal dengkul. Asal buka, asal berjalan. Asal ada tempat atau sekedar jadi agen
langsung buka. Untuk sekedar membuka usaha, pola pikir seperti ini mamng cukup efektif. Mengamalkan fatwa menggunakan
otak kanan. Otak kanan sigfatnya, imajunatif dan kreatif.
Banyak pengusaha laundry yang berodal kreatif
tadi. Namun sayang, bila keberanian serta kreatifitas itu tidak diteruskan
dengan otak kiri, yakni analitis. Semestinya, jika usaha beberapa bulan
dirasakan tidak ada kemajuan, giliran otak kiri bekerja, tentu tanpa
meninggalkan tugas otak kakan tadi Bila usaha yang sudah sekian lama berjalan
tanpa mengeluarkan hasil, semetsinya duevaluasi temukan di mana kekurangannya.
Dari sisi pelayanan, karena laundry termasuk
usaha jasa, jangan karena terget, kualitas jadi nomor dua. Ini akan diperparah
dengan saling banting harga di antara pebisnis laundry itu sendiri.
Keuntunganpun semakin tipis sementara operasional semakin membengkak.
Dengan target omzet yang besar dari harga
satuan yang kecil dipastikan membutuhkan
tambahan dan beban operasional lain seperti mesin dan konsumsi listrik.
Padahal, margin keuntungan semkin menipis.
Lebih parah juga jika kondisi ini
berakibat pada kesejahterraan karyawan. Honor kecil, pekerjaan banyak
kualitas pun menurun. Bisa-bisa bukan
omzet yang terkejar malah rugi berkali-kali lipat. (*)